Saat Musik Jadi Beban Cerita Kafe di Jaksel yang Stop Putar Lagu karena Royalti

Saat Musik Jadi Beban Cerita Kafe di Jaksel yang Stop Putar Lagu karena Royalti

Saat Musik Jadi Beban Cerita Kafe di Jaksel yang Stop Putar Lagu karena Royalti

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Selatan, sebuah kafe kecil tiba-tiba ramai diperbincangkan bukan karena menu kopinya yang nikmat, melainkan karena keputusan tak biasa: berhenti memutar musik.

Bukan karena keinginan, tapi karena beban royalti yang dinilai memberatkan pemilik usaha.

Saat Musik Jadi Beban Cerita Kafe di Jaksel yang Stop Putar Lagu karena Royalti

Royalti musik adalah bentuk penghargaan atas karya musisi yang diputar di ruang publik. Menurut UU Hak Cipta di Indonesia,

setiap pelaku usaha yang menggunakan lagu atau musik secara komersial wajib membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun dalam praktiknya, sistem ini masih menuai polemik.

Beberapa pemilik usaha kecil mengaku bahwa nominal yang diminta terasa tidak proporsional terhadap skala bisnis mereka.

Bahkan, ada yang merasa tidak diberi penjelasan cukup tentang dasar perhitungan tarif. Hal inilah yang juga dirasakan oleh pemilik kafe di Jakarta Selatan tersebut.

Cerita dari Kafe Kecil: “Kami Hanya Ingin Putar Lagu”

Pemilik kafe, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa musik sebenarnya menjadi bagian penting dari suasana di tempat usahanya.

Lagu-lagu indie dan jazz ringan mengiringi pengunjung yang datang untuk bersantai. Tapi sejak mendapat surat permintaan pembayaran royalti, ia memutuskan untuk mematikan semua speaker.

“Beban operasional kami saja sudah berat. Ditambah lagi permintaan royalti yang tidak sedikit, akhirnya saya memilih untuk menghentikan musik,” ujarnya.

Keputusan itu berdampak pada pengalaman pelanggan. Beberapa pengunjung mengaku suasana kafe terasa berbeda dan lebih ‘sepi’.

Namun, sebagian lainnya justru memahami keputusan tersebut dan mengapresiasi sikap pemilik yang memilih mematuhi aturan daripada berisiko terkena sanksi.

Reaksi Publik: Dilema Antara Hak Cipta dan Daya Beli

Fenomena ini menuai tanggapan dari berbagai pihak. Di media sosial, warganet terbelah. Ada yang membela musisi dengan mengatakan bahwa royalti

adalah hak yang sah, namun tak sedikit pula yang menilai sistem pemungutannya perlu disesuaikan dengan kapasitas usaha.

“Musik itu hak cipta, tapi masa kafe kecil diperlakukan sama kayak mal besar?” tulis seorang netizen di Twitter.

Sementara itu, para pelaku industri musik juga angkat suara. Mereka berharap sistem distribusi royalti bisa lebih transparan dan adil, agar semua

pihak merasa diuntungkan. Beberapa menyarankan pemerintah memberikan edukasi dan pendampingan kepada UMKM agar tidak merasa terbebani secara sepihak.

Solusi yang Mungkin: Musik Bebas Royalti dan Sistem Tarif Bertingkat

Untuk menyiasati beban royalti, sejumlah kafe mulai mempertimbangkan opsi seperti menggunakan musik bebas royalti atau berlangganan layanan musik legal yang

sudah menyertakan lisensi penggunaan komersial. Meski solusinya tidak selalu ideal, pendekatan ini dinilai lebih praktis bagi usaha berskala kecil.

Ada pula usulan agar sistem royalti diberlakukan secara bertingkat. Artinya, kafe atau usaha mikro dengan penghasilan terbatas diberikan tarif lebih ringan

atau bahkan dibebaskan dalam kondisi tertentu. Dengan cara ini, pelaku usaha tetap bisa mendukung hak cipta musisi tanpa merasa dirugikan.

Kesimpulan: Saat Musik Tak Lagi Menyenangkan

Kasus kafe di Jakarta Selatan ini adalah cermin dari problematika hak cipta yang belum tuntas. Di satu sisi, musik harus dihargai.

Di sisi lain, pelaku usaha kecil pun perlu perlindungan agar tidak tenggelam dalam beban biaya tambahan.

Diperlukan dialog yang terbuka antara pelaku usaha, lembaga hak cipta, dan pemerintah agar regulasi berjalan adil dan proporsional.

Karena pada akhirnya, musik seharusnya menjadi pengikat suasana—bukan beban yang memaksa sunyi.

Baca juga: Radar Polisi Tangkap Jejak ‘Kaka’, Pengatur Sabu di Pus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.