Larangan Malam 1 Suro dalam Tradisi Jawa dan Pandangan Ulama
Malam 1 Suro merupakan salah satu malam paling sakral dalam tradisi budaya Jawa. Tanggal ini menandai pergantian tahun baru Jawa
yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Di masyarakat Jawa, khususnya yang masih memegang kuat
nilai-nilai tradisional dan kepercayaan leluhur, malam 1 Suro dianggap sebagai waktu yang penuh dengan aura mistis
sehingga muncul berbagai larangan dan pantangan yang dipercaya harus dihindari.
Namun, bagaimana sesungguhnya asal-usul larangan-larangan tersebut? Dan apa pandangan para ulama terhadap
fenomena ini? Artikel ini mengulas lebih dalam tentang tradisi malam 1 Suro dan penilaiannya dalam kacamata Islam.
Larangan Malam 1 Suro dalam Tradisi Jawa dan Pandangan Ulama
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, malam 1 Suro dianggap sebagai malam keramat. Pada malam ini, diyakini bahwa alam gaib lebih aktif, sehingga manusia perlu menjaga diri dan menjauhi aktivitas tertentu. Beberapa larangan yang sering dijumpai pada malam ini antara lain:
-
Tidak mengadakan pesta atau hajatan seperti pernikahan, karena dipercaya membawa sial.
-
Tidak bepergian jauh, karena diyakini rentan terhadap mara bahaya.
-
Tidak keluar rumah saat tengah malam, demi menghindari gangguan makhluk halus.
-
Tidak melakukan aktivitas penting seperti pindahan rumah atau memulai bisnis baru.
Sebaliknya, malam 1 Suro sering dimanfaatkan oleh para penganut tradisi Jawa untuk melakukan ritual spiritual seperti tirakat, tapa bisu (puasa bicara sambil berjalan keliling), meditasi di tempat keramat, hingga membasuh benda pusaka.
Asal-usul Keyakinan
Keyakinan ini berasal dari sinkretisme budaya Jawa dengan ajaran Islam, Hindu, dan kepercayaan animisme-dinamisme yang telah berlangsung berabad-abad. Pengaruh Keraton Yogyakarta dan Surakarta sangat besar dalam menjaga nilai-nilai tersebut.
Masyarakat Jawa percaya bahwa malam 1 Suro merupakan momen “pembuka gerbang gaib”, sehingga manusia harus berdiam diri dan introspeksi. Perilaku hening dan penuh perenungan dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur dan alam semesta.
Pandangan Ulama terhadap Malam 1 Suro
Dari sudut pandang Islam, ulama memiliki pandangan yang beragam terhadap tradisi malam 1 Suro. Secara umum, Islam tidak melarang umatnya untuk memiliki budaya atau tradisi, selama tidak bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.
Menurut beberapa ulama, larangan seperti tidak menikah atau tidak keluar rumah di malam 1 Suro tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Mereka menegaskan bahwa keberuntungan dan kesialan tidak ditentukan oleh hari atau tanggal tertentu, melainkan oleh takdir Allah SWT. Dalam Islam, keyakinan kepada hal-hal yang tidak berdasar dalil syar’i dapat masuk dalam kategori tathayyur atau kecenderungan terhadap tahayul, yang dilarang.
Namun demikian, beberapa ulama juga memahami pentingnya tradisi lokal dalam konteks kultural. Selama tradisi malam 1 Suro dimaknai sebagai bentuk refleksi diri, muhasabah, dan penguatan spiritual, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.
Kesimpulan
Malam 1 Suro dalam tradisi Jawa merupakan malam yang penuh makna dan simbolisme spiritual. Larangan
larangan yang beredar lebih bersifat kultural daripada keagamaan. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami perbedaan antara nilai budaya dan hukum agama secara proporsional.
Islam tidak melarang tradisi selama tidak melanggar akidah. Maka dari itu, penting bagi umat Islam
untuk menyikapi malam 1 Suro dengan sikap bijak—menghormati budaya, namun tetap berpegang pada nilai-nilai tauhid yang lurus.
Mengisi malam 1 Suro dengan dzikir, doa, dan refleksi diri tentu jauh lebih utama daripada larut dalam ketakutan irasional.
Sebab sejatinya, setiap malam adalah milik Allah SWT, dan keberkahan datang dari amal baik, bukan dari tanggal tertentu.
Baca juga: Mengapa Penentuan Kuota Haji 2024 Diselidiki KPK?