Banyuwangi Gelar Pawai Budaya Sambut Nyepi 1947 Umat Hindu menggelar pawai budaya yang meriah sebagai bagian dari rangkaian menyambut perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu, 22 Maret 2035, dan dipusatkan di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Karetan, Kecamatan Purwoharjo.
Pawai yang digelar tersebut menghadirkan puluhan ogoh-ogoh, yaitu patung-patung raksasa simbolisasi Bhuta Kala atau kekuatan negatif yang diyakini mengganggu keharmonisan alam dan manusia. Ogoh-ogoh tersebut merupakan hasil kreativitas para pemuda Hindu atau yang dikenal dengan sebutan yowana dari berbagai Sekaa Teruna Teruni (STT) yang tersebar di sejumlah wilayah di Banyuwangi.
Berbagai bentuk dan ukuran ogoh-ogoh ditampilkan dalam pawai tersebut. Beberapa patung dibuat menyerupai makhluk mitologis dengan tampilan yang menyeramkan, sementara yang lain mengangkat tokoh-tokoh simbolik dari cerita epos Hindu maupun figur khas budaya lokal. Seluruh ogoh-ogoh tersebut merupakan hasil karya kolektif warga, khususnya generasi muda yang tidak hanya menciptakan bentuk fisik patung, tetapi juga merancang narasi dan makna yang terkandung di baliknya.
Banyuwangi Gelar Pawai Budaya Nyepi 1947
Irama gamelan Bali yang mengiringi setiap rombongan menambah semarak suasana pawai. Musik tradisional ini dimainkan dengan irama cepat dan energik, menciptakan atmosfer khas yang menggambarkan suasana perayaan spiritual dan budaya yang mendalam. Ribuan penonton dari berbagai latar belakang suku, agama, dan usia turut memadati sepanjang jalur pawai untuk menyaksikan kemeriahan tersebut.
Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, yang hadir langsung dalam kegiatan itu menyampaikan apresiasi dan kebanggaannya atas terselenggaranya pawai budaya tersebut. Ia menegaskan bahwa pawai ogoh-ogoh bukan hanya menjadi ajang seni dan hiburan semata, melainkan merupakan refleksi dari kekayaan budaya serta semangat kebersamaan masyarakat Banyuwangi yang hidup dalam kerukunan.
“Pawai ogoh-ogoh ini bukan sekadar tontonan budaya, melainkan juga bentuk manifestasi nilai-nilai tradisional yang masih dijaga oleh masyarakat. Lebih dari itu, kegiatan ini mencerminkan semangat toleransi yang mengakar kuat di Banyuwangi. Di sini, keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan untuk membangun persatuan,” ujar Mujiono dalam sambutannya.
Ia juga menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terus berkomitmen mendukung seluruh kegiatan keagamaan dan kebudayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Hal ini menjadi bagian dari strategi besar pemerintah daerah dalam menjaga keberagaman, mempererat ikatan sosial, dan memperkuat identitas daerah yang kaya akan warisan budaya.
“Meskipun pelaksanaan pawai ini bertepatan dengan bulan suci Ramadan, masyarakat tetap menjalankan kegiatan dengan saling menghormati. Ini menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama di Banyuwangi berjalan dengan sangat baik. Ini adalah contoh nyata hidup berdampingan dengan harmonis,” tambahnya.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Banyuwangi, Sardiyanto, dalam keterangannya menyampaikan bahwa kegiatan pawai budaya tersebut diikuti oleh tidak kurang dari 3.000 umat Hindu. Mereka berasal dari berbagai wilayah, seperti Kecamatan Purwoharjo, Bangorejo, hingga komunitas Hindu di Kampung Bali, Desa Patoman.
Ribuan Umat Hindu
Pawai ogoh-ogoh, lanjut Sardiyanto, merupakan bagian penting dari rangkaian upacara Tawur Kesanga, yaitu ritual pembersihan yang dilakukan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Dalam ajaran Hindu, Tawur Kesanga dimaksudkan untuk menetralkan kekuatan jahat yang melingkupi lingkungan sekitar, sebagai bentuk persiapan memasuki momen penyucian diri yang sakral.
“Ogoh-ogoh adalah simbolisasi dari Bhuta Kala, yakni unsur energi negatif yang perlu disucikan agar umat Hindu dapat menyambut Hari Raya Nyepi dengan hati yang bersih dan suci. Setelah diarak keliling desa, patung-patung ini akan dibakar atau dilebur, sebagai representasi dari proses pembersihan alam semesta dan diri pribadi dari pengaruh jahat,” ungkapnya.
Setelah rangkaian pawai budaya selesai, umat Hindu akan melanjutkan persiapan spiritual untuk menyambut Hari Suci Nyepi yang akan jatuh pada Senin, 29 Maret 2025. Pada hari tersebut, seluruh umat Hindu akan menjalankan ritual Catur Brata Penyepian, yaitu empat pantangan utama yang dijalankan selama 24 jam penuh.
Catur Brata Penyepian terdiri atas Amati Geni (tidak menyalakan api atau penerangan), Amati Karya (tidak melakukan aktivitas pekerjaan), Amati Lelungan (tidak bepergian atau keluar rumah), dan Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan atau kesenangan duniawi). Tujuan dari laku spiritual ini adalah mencapai keheningan total sebagai bentuk introspeksi, kontemplasi, serta penyucian jiwa dan raga.
Baca Juga : Destinasi Budaya Incaran Makassar Dinas Kebudayaan Komitmen