Tokoh Adat Suku Sasak Bicara soal Budaya Pernikahan Anak di Lombok
Budaya pernikahan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, telah lama menjadi sorotan baik di tingkat nasional maupun internasional. Tradisi ini, yang dikenal
dengan istilah “merarik kodek” dalam budaya Suku Sasak, melibatkan praktik pernikahan di usia belia, bahkan kadang di bawah umur 18 tahun.
Baru-baru ini, seorang tokoh adat Suku Sasak angkat bicara mengenai praktik tersebut, membuka ruang diskusi antara pelestarian budaya dan perlindungan hak anak.
Tokoh Adat Suku Sasak Bicara soal Budaya Pernikahan Anak di Lombok
Dalam tradisi Suku Sasak, terdapat budaya merarik, yaitu proses “melarikan” atau membawa calon pengantin perempuan ke rumah pihak laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan.
Meskipun sekarang telah banyak diatur secara hukum, dulunya praktik ini kerap dilakukan tanpa melalui prosedur resmi, termasuk pernikahan dini tanpa persetujuan sah dari negara.
Tokoh adat yang juga pemangku budaya Lombok, Lalu Harun, menjelaskan bahwa merarik bukanlah bentuk penculikan, melainkan bagian dari sistem sosial dan budaya
masyarakat Sasak yang sudah ada turun-temurun. Namun, seiring perkembangan zaman, praktik ini mulai disalahartikan dan kadang menjadi celah bagi pernikahan di usia yang sangat muda.
Tradisi vs Hukum: Ketegangan yang Masih Terjadi
Salah satu tantangan utama dari budaya ini adalah benturan dengan hukum nasional, terutama Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang menetapkan usia minimal
pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun, dalam kenyataannya, banyak keluarga di Lombok yang masih mempraktikkan pernikahan anak karena alasan tradisi, tekanan sosial, atau ekonomi.
Tokoh adat Sasak menyadari hal ini dan mengungkapkan bahwa komunitas adat tidak anti terhadap hukum, tetapi berharap ada pendekatan budaya yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan persoalan ini. “Kami tidak menolak perubahan, tetapi perubahan itu harus menghormati budaya lokal,” ujar Lalu Harun.
Faktor Sosial dan Ekonomi di Balik Pernikahan Anak
Selain budaya, faktor sosial dan ekonomi juga mendorong maraknya pernikahan anak. Banyak keluarga miskin yang melihat pernikahan sebagai solusi untuk meringankan beban ekonomi.
Di sisi lain, rendahnya akses pendidikan dan pemahaman akan hak-hak anak membuat praktik ini terus berlanjut.
Tokoh adat menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, bukan hanya menindak. “Kami butuh dialog, bukan hanya pelarangan.
Pendidikan menjadi kunci agar anak-anak tahu masa depannya lebih dari sekadar menikah muda,” ujarnya.
Upaya Revitalisasi Budaya secara Bijak
Lalu Harun dan tokoh adat lainnya di Lombok kini berupaya merevitalisasi budaya merarik agar lebih sesuai dengan konteks zaman. Salah satu langkah konkret adalah
mengatur ulang proses merarik agar tetap menjaga nilai budaya tanpa mengorbankan hak anak.
Beberapa desa di Lombok bahkan telah menetapkan peraturan desa (perdes) yang membatasi praktik pernikahan anak. Perdes ini juga mengatur sanksi bagi pelaku
praktik pernikahan di bawah umur dan mendorong masyarakat untuk melibatkan lembaga negara dalam setiap proses pernikahan.
Kolaborasi antara Pemerintah dan Tokoh Adat
Kolaborasi antara tokoh adat, pemuka agama, dan pemerintah daerah menjadi krusial dalam mengatasi persoalan ini.
Banyak inisiatif yang kini melibatkan peran aktif tokoh adat sebagai jembatan antara masyarakat dan negara.
Mereka menjadi agen perubahan dalam menyosialisasikan nilai-nilai budaya yang sejalan dengan perlindungan anak.
Lalu Harun menyampaikan bahwa budaya seharusnya menjadi alat untuk membangun masyarakat, bukan justru membatasi hak-hak dasar.
Budaya bukan kitab suci. Budaya bisa berubah seiring zaman, selama tidak kehilangan jati diri,” katanya.
Perspektif Anak dan Generasi Muda Sasak
Generasi muda Suku Sasak mulai menyuarakan pandangan yang lebih kritis terhadap praktik pernikahan anak. Banyak di antara mereka yang kini memilih
melanjutkan pendidikan dan menunda pernikahan. Dengan semakin terbukanya akses informasi dan pendidikan, suara generasi muda ini semakin kuat dalam mendorong perubahan sosial.
Tokoh adat mendukung suara anak-anak muda ini, asalkan dilakukan dengan tetap menghargai akar budaya. “Perubahan adalah bagian dari kehidupan.
Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik tradisi jika itu menyakiti masa depan anak-anak kita,” ucap Lalu Harun.
Kesimpulan: Menjaga Tradisi, Melindungi Masa Depan
Pernikahan anak di Lombok, khususnya dalam budaya Sasak, adalah isu kompleks yang melibatkan banyak dimensi: budaya, hukum, ekonomi, dan sosial.
Tokoh adat seperti Lalu Harun menjadi sosok penting dalam menjembatani nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman.
Pelestarian budaya tidak harus berarti mempertahankan semua tradisi tanpa kritik. Justru dengan mereformasi tradisi agar lebih inklusif dan ramah anak, budaya Sasak bisa terus hidup dan relevan di masa depan.
Lombok pun bisa menjadi contoh bagaimana tradisi dan perlindungan hak anak bisa berjalan berdampingan.
Baca juga:Polri Gelar Operasi Sistemik dari Mabes hingga Polsek untuk Berantas Premanisme